Friday, April 11, 2014

Karesidenan Besuki


Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an. Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan. Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja. Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak.

Kata karesidenan berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Sebuah karesidenan dikepalai oleh residen, yang berasal dari Bahasa Belanda Resident. Di atas residen adalah gubernur jenderal, yang memerintah atas nama Raja dan Ratu Belanda.

Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada karesidenan lagi dan yang muncul faktor kekuasaannya adalah kabupaten. Karesidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur" (istilah ini sekarang tidak digunakan lagi). Namun demikian, sebutan "eks-karesidenan" masih dipakai secara informal.

Sebuah sisa pemakaian karesidenan adalah tanda kendaraan bermotor (pelat nomor). Pembagiannya, terutama di pulau Jawa masih banyak berdasarkan karesidenan.

Eks Karesidenan Besuki, sebuah karesidenan yang meliputi Probolinggo (kota dan kabupaten), Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi.

Sejarah tentang kota besuki kita awali dengan tokoh yang membabat yaitu Raden Bagus Kasim al Wirodipuro al Ki Pate Alos. beliau lahir pada minggu ketiga bulan Rabiul Awal 1162 H / 1741 M di Tanjung Jambul Pamekasan Madura. beliau Adalah putra Raden Abdurahman al Wirobroto. Orang yang pertamakali membabad tanah besuki. Beliau adalah cucu Raden Abdullah Surowikromo yang masih keluarga KRATON MATARAM (Susuhunan Pakubuwono II) Eyang Lelono dan akhirnya menetap di Tanjung Jambul Pamekasan Madura. 

Asal mula tanah besuki, berawal dari hijrahnya Raden Abdurahman al Wirobroto pada 10 Asyuro 1164 H / 1743 M ke desa Demung, dikarenakan daerah Tanjung Jambul Pamekasan terjadi NEMOR KARA ( kemarau panjang ) yang menyengsarakan rakyat. 

Waktu itu Raden Wirobroto memutuskan untuk hijrah ke tanah Jawa mencari tanah baru untuk bercocok tanam, akhirnya Beliau tiba di desa Demung yang dikenal dengan nama NAMBEKOR ( berasal dari kata NAMBEG / berlabuh ) dan membuka hutan disana, sedangkan untuk tempat berteduh dan istirahat Kiai Wirobroto membuat rumah dari ATAQ ( daun kelapa yang dirajut untuk dijadikan atap rumah tepatnya di Bujug Se Pacar ) pada waktu itu oleh Tumenggung Sentong dijadikan Kademangan. Pucuk dicita ulampun tiba, berkat kerja keras tanpa mengenal putus asa hasil panen Raden Wirobroto melimpah ruah. Dengan perasaan senang Raden Wirobroto membawa hasil panennya ke Tanjung Jambul Pamekasan Madura.

Berita tentang hal tersebut didengar oleh Tumenggung Sentong ( desa Demung adalah bagian dari kekuasaan Tumegung Sentong ) dan sang Tumenggung memanggil Raden Wirobroto. Namun Raden Wirobroto tidak mengindahkan perintah tersebut. Hingga terjadilah perseteruan diantaranya keduanya yang kemudian terjadi peperangan. Tercatat Tumenggung Sentong 3 kali menyerang Demung akan tetapi gagal dan akhirnya Tumenggung Sentong takluk pada Raden Bagus Kasim.

Berita tentang orang-orang Madura yang NAMBEG (hijrah/datang untuk merubah nasib/mencari pekerjaan) didesa Demung didengar pula olehTumenggung Banger dan beliau memanggil Raden Wirobroto dengan mengutus Wongso Mitro ke desa Demung dengan perantaraan Wongso Mitro, Raden Wirobroto berhasil diajak menghadap ke Tumenggung Banger. Sesampainya disana Raden Wirobroto disambut dengan baik dan dianugerahi hadiah oleh sang Tumenggung. Dan Raden Wirobroto pun pamit untuk kembali ke Demung.

Singkat cerita Raden Wirobroto sudah tua dan digantikan oleh putranya Raden Bagus Kasim (19 tahun) yang lahir di Desa Tanjung Umbul Pamekasan pada tahun 1734 M dan pada 12 Rabiul Awal 1181 H/1760 M diberi gelar WIRODIPURO (WIRO : Pahlawan, DIPURO : Daerah) oleh Tumenggung Joyo Lelono.

Sewaktu beliau menggantikan ayahnya, Demung semakin ramai dan akhirnya diganti nama menjadi Besuki oleh Tumenggung Banger
Tercatat dalam sejarah kepemimpinan Beliau beberapa kejadian penting antara lain :
1. Beliau diminta bantuan oleh Kompeni Belanda menyerang Sentong dan Sentongpun berhasil dikalahkan.
2.Beliau juga diminta bantuan oleh Belanda bersama - sama Tumenggung Banger dan Tumenggung Pasuruan menyerang Lumajang dan usaha tersebut berhasil.
3.Beliau bersama - sama para pemimpin, Tumenggung daerah Pesisir Timur Jawa ( Semarang Timur ) beserta bala tentara dari Sumenep dan Pamekasan berhasil menaklukkan Blambangan dan Nusa Barong, Dan beberapa kejadian penting lainnya.

Raden Bagus Kasim wafat dan dimakamkan di Besuki pada minggu pertama bulan Rajabiah 1221 H/1800 M dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Bagus Syahirudin juga bergelar WIRODIPURO 2 juga wafat pada minggu pertama bulan Rajabiah 1271 H/1850 M dan dimakamkan di Besuki, tepatnya di Dusun Kauman Barat Besuki Situbondo Jatim. Sampai dengan sekarang wafatnya beliau diperingati tiap tahun oleh masyarakat Besuki yang dipusatkan di Pasarean Asta Pate Alos.

Sumber :
http://id.wikipedia.org
http://ridwanfirmansyah.blogspot.com

Tapal Kuda


Tapal Kuda, adalah nama sebuah kawasan di provinsi Jawa Timur, tepatnya di bagian timur provinsi tersebut. Dinamakan Tapal Kuda, karena bentuk kawasan tersebut dalam peta mirip dengan bentuk tapal kuda. Kawasan Tapal Kuda meliputi Pasuruan (bagian timur), Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.

Menurut sejarahnya, daerah Tapal Kuda ini dahulu disebut dengan Blambangan atau dalam budaya Jawa disebut daerah bang wetan (seberang timur), karena kawasan ini tidak pernah menjadi bagian dari kerajaan Mataram, karena tidak dikenal sebelum imigran dari kawasan Mataraman berpindah mengisi kawasan pesisir selatan. Namun kini istilah Blambangan hanya ditujukan untuk wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Banyuwangi.[1]

Kawasan Tapal Kuda terdapat tiga pegunungan besar: Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Pegunungan Iyang (dengan puncak tertingginya Gunung Argopuro), dan Dataran Tinggi Ijen (dengan puncak tertingginya Gunung Raung).

Ciri khas kawasan ini adalah dihuni oleh Suku Madura dan Suku Jawa. Suku Madura bahkan mayoritas di beberapa tempat, khususnya di bagian utara; sebagian besar tidak dapat berbahasa Jawa, meski tinggal di lingkungan Jawa. Kawasan tapal kuda seringkali dianggap sebagai daerah terbelakang di Jawa Timur, karena berdasarkan peta Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Timur, kawasan ini berada pada jajaran yang paling rendah.

Kota-kota besar di kawasan Tapal Kuda adalah Probolinggo, Pasuruan, dan Jember. Jember merupakan kota pendidikan, dimana terdapat perguruan tinggi negeri Universitas Jember.


Tapal kuda merupakan wilayah subkultur di Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang pemberontakan. Penghuni tapal kuda mayoritas adalah etnis Madura. Meski ada minoritas etnis Jawa, namun pengaruh Madura yang sangat kuat menyebabkan karakter budaya di wilayah ini lebih beraroma Madura. Orang-orang tapal kuda juga sangat identik dengan Islam. Lebih spesifik lagi, Nahdatul Ulama.

Pada masa Majapahit, tapal kuda masuk menjadi wilayah Majapahit Timur. Sedangkan pada masa Mataram, tapal kuda disebut Blambangan. Keberanian luar biasa adalah karakter masyarakat tapal kuda. Konon, menurut Pramudya Ananta Toer di Probolinggo, Majapahit pernah direpotkan oleh pemberontakan Minak Djinggo. Selain Majapahit, VOC juga mendapat kesulitan di sini. Untung Suropati, anak Bali yang diasuh Belanda dan akhirnya diburu oleh tuannya sendiri itu memperoleh dukungan yang amat kuat di sini, hingga akhirnya sanggup membangun kerajaan di Pasuruan.

Di Pasuruan, ada cerita rakyat yang populer dengan sebutan ” Sakera ”, pembangkang kompeni di ladang tebu Pasuruan yang kemana-mana membawa Clurit. Banyak pula beredar cerita-cerita tentang pahlawan rakyat : Pangeran Situbondo yang patungnya bisa ditemui di Alas Malang, Panarukan( sekarang Situbondo ) dan Pangeran Tawang Alun di Jember.

Disamping itu potensi wisata yang ada di kawasan ini ternyata juga tidak kalah menarik, bahkan sangat luar biasa jika dikembangkan dengan lebih serius. Antara lain :

Kawasan Taman Nasional Tengger-Semeru (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Malang)
Taman Nasional Meru Betiri (Jember & Banyuwangi)
Taman Nasional Kawah Ijen (Bondowoso & Banyuwangi)
Taman Nasional Baluran (Situbondo & Banyuwangi)
Prigen, Nongkojajar, Ranu Grati (Pasuruan)
Pantai Bambang, Ranu Pane, Ranu Klakah, Gunung Semeru dll (Lumajang)
Pantai Bentar, Gunung Lamongan, dll (Probolinggo)
Pantai Pasir Putih (Situbondo)
Bukit Arak-Arak, Situs purbakala (diseluruh Bondowoso), Gerbong Maut dll (Bondowoso)
Pantai Watu Ulo-Papuma (Jember)
Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Sukomade, Pantai Plengkung, Situs Puputan Bayu, Watu Dodol, Desa Wisata Osing dll (Banyuwangi)

Secara tradisional, kawasan Tapal Kuda merupakan kawasan yang diwarnai nuansa keislaman yang kental. Nahdlatul Ulama mempunyai akar yang sangat kuat diwilayah ini, kendatipun mistisme juga ditemukan utamanya di Banyuwangi. Tahun 1998 wilayah ini pernah diguncang gangguan keamanan dengan isu dukun santet yang menewaskan beberapa puluh jiwa yang terdiri dari warga biasa dan ulama, terutama di Banyuwangi dan mencekam hampir seluruh kawasan Tapal Kuda selama beberapa waktu, dan sampai sekarang siapa dalang dari semua itu masih merupakan tabir gelap yang belum terpecahkan.

Kendatipun berada di pulau Jawa, namun mayoritas penduduk Tapal Kuda adalah masyarakat Madura atau berbahasa Madura. Tapi anehnya mereka banyak yang enggan disebut Madura dan lebih suka disebut sebagai orang pendhalungan atau campuran, dikarenakan nenek moyang mereka yang merupakan pembauran antara etnis Jawa dan Madura.

Sedangkan etnis Jawa sendiri lebih banyak menghuni kawasan selatan Tapal Kuda, utamanya Lumajang, Jember Selatan dan Banyuwangi Selatan. Bahkan uniknya kebanyakan penduduk Tapal Kuda tidak mengerti bahasa Jawa. Sedangkan komunitas lainnya adalah Masyarakat Budaya Osing yang menghuni kawasan tengah Banyuwangi, Masyarakat Tengger di wilayah Bromo, kelompok kecil etnis Bali di wilayah Banyuwangi dan tentunya suku Tionghoa dan Arab yang tersebar dikota-kota utama kawasan itu.

Sedangkan ditinjau dari segi kebudayaan, budaya yang dominan sudah pasti budaya Madura yang akan tetapi memiliki beberapa perbedaan dengan budaya Madura di tanah leluhurnya. Kebudayaan Jawapun terbagi antara budaya Arekan (Jawa Timuran) dan Mataraman yang terpusat dipantai selatan. Sedangkan masyarakat Tengger dan Osing membentuk budayanya sendiri. Namun yang paling populer adalah kebudayaan masyarakat Osing yang sangat berwarna karena pengaruh Jawa-Madura dan Bali yang kuat, dan menjadi ikon khas bagi Jawa Timur, seperti Gandrung Banyuwangi hingga Banyuwangi dijuluki sebagai Kota Gandrung dan banyak seni budaya lokal yang tidak dijumpai didaerah manapun di Jawa. Wayang Topeng berbahasa Madura dan Ludruk berbahasa Madurapun juga populer di Tapal Kuda selain kesenian-kesenian bernafaskan Islam.

Sumber :
http://imatacommunity.wordpress.com
http://id.wikipedia.org

Related Posts